MetroPapua News,Sorong – Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, yang jatuh pada tanggal 1 Mei, biasanya diwarnai dengan aksi demonstrasi buruh untuk menyampaikan aspirasi mereka. Namun, tiga serikat buruh di Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, memilih pendekatan yang berbeda tahun ini.

Tiga serikat buruh tersebut adalah Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Papua Barat Daya, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSPSI) Papua Barat, dan Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI) Papua Barat Daya. Mereka memutuskan untuk tidak melakukan aksi demonstrasi pada May Day.

Louis Dumatubun, Koordinator Wilayah KSBSI Papua Barat Daya, menyatakan bahwa pada May Day ini, pihaknya memilih untuk menyampaikan aspirasi buruh melalui surat resmi kepada pihak berwenang, bukan melalui demonstrasi. “Besok, pada 1 Mei, kami tidak akan melakukan aksi demo damai atau unjuk rasa. Jika ada usulan yang berkaitan dengan perjuangan kami, akan kami buat dalam bentuk surat yang sudah kami sampaikan ke semua DPC KSBSI,” ujar Louis kepada awak media di Sorong Cafe, Selasa 30 April 2024.

Louis menambahkan bahwa jika ada aliansi di Kota Sorong yang melakukan kegiatan pada May Day, KSBSI tidak akan terlibat. “Kami tidak terlibat dalam aliansi manapun. Artinya, jika ada pengurus atau anggota yang terlibat dalam aliansi tersebut, itu dilakukan atas nama pribadi, bukan atas nama serikat buruh KSBSI,” tegasnya.

Hans Worumi, Koordinator Wilayah KSBSI Papua Barat, menjelaskan bahwa KSBSI sangat membatasi pengurus dan anggotanya untuk melakukan aksi demonstrasi atau long march selama May Day. “Mungkin kami akan melakukan semacam bakti sosial dan lain-lain. Namun, untuk tahun ini, kami tidak melakukannya, karena di beberapa tahun lalu kami sudah melakukannya. Untuk tahun ini, kami sangat membatasi kegiatan tersebut, mengingat kondisi keamanan dan fokus pada aspirasi yang akan kami sampaikan dalam pertemuan tertutup,” jelas Hans.

Dalam pertemuan tertutup tersebut, seluruh aspirasi buruh akan dibuat dalam bentuk surat dan disampaikan kepada pemerintah daerah. Hans menekankan ada tiga poin utama yang ingin dikedepankan: pertama, pembentukan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit provinsi; kedua, keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di provinsi; dan ketiga, penyesuaian Upah Minimum Provinsi (UMP) yang saat ini ditetapkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional, yang tidak mencerminkan kondisi ekonomi lokal.

“Kami menyadari bahwa kondisi UMP yang digaungkan secara nasional tidak sesuai dengan realitas di daerah kami. Ini berdampak pada pendapatan buruh. Sektor-sektor tertentu telah dihapus, dan yang ada hanyalah upah regional. Persentase kenaikan upah yang ditetapkan sangat terbatas, sehingga untuk mencapai kesejahteraan buruh dengan meningkatkan upah, butuh waktu yang sangat lama,” tutur Hans.

Menurut Hans, upah yang sedang berjalan di daerah sangat memprihatinkan, dimana saat ini telah mencapai tiga koma sekian, dan untuk mencapai Rp 5 juta, diperlukan kenaikan yang signifikan dan waktu yang lama.

Salim H. Nur, Ketua FSPNI Papua Barat Daya, menambahkan bahwa dalam May Day, FSPNI telah membentuk tim gabungan dari beberapa serikat buruh untuk pelaksanaan May Day tahun 2024 yang akan dilaksanakan di Vega Prime Hotel & Convention Sorong pada Jumat, 3 April 2024.

“Acara tersebut akan berfokus pada penyampaian aspirasi dan dilanjutkan dengan diskusi. Kami hanya menambahkan beberapa poin terkait dengan UMP. Tahun lalu, Dewan Pengupahan Papua Barat Daya belum bisa menghitung karena laju inflasi dikali dengan pertumbuhan ekonomi dikali dengan alfa satu, alfa dua, dan alfa tiga tidak mencapai maksimal,” imbuh Salim.

Salim mengakui bahwa sesuai dengan petunjuk PP 51, kenaikan upah hanya sekitar 2 persen. Namun, sebelum adanya rumus tersebut, survei KLJ bisa menghasilkan kenaikan hingga 8-9 persen.

“Lewat May Day ini, kami berjuang keras agar penetapan UPM tahun 2025 harus lewat survei. Kami harus membuktikan kebutuhan seorang pekerja itu nyata, mulai dari tempat tinggal, transportasi, hingga kebutuhan rumah tangga dalam sebulan,” tutup Salim.

“Ini sesuatu yang perlu kami sampaikan ke pemerintah, seperti apa kebijakan pemerintah. Berdasarkan alasan tadi yang kami usulkan adalah pemerintah sepakat dengan serikat dengan membuat Upah Minimum Kota-Kabupaten (UMK). Ini yang terjadi di Jakarta sehingga Jakarta upah lebih tinggi dibandingkan Papua yang mengacu kepada UMK bukan UMP,” pungkasnya. – (A/L)

Scroll Untuk Lanjut Membaca