SORONG, MPN â Tokoh masyarakat Suku IMEKO, Silvester Stefanus Saimar, menyuarakan keberatan keras terhadap praktik eksploitasi gas alam di wilayah adat mereka, terutama di area Lapangan Berau, yang termasuk dalam Blok Wilayah Kerja (WK) Migas Berau. Ia menegaskan bahwa selama puluhan tahun masyarakat adat hanya menjadi korban dari praktik pengelolaan sumber daya alam yang dinilai merugikan, baik secara ekonomi, hukum, maupun sosial.
Menurut Saimar, perusahaan Conoco Indonesia Inc (Conoco Phillips Ltd) bersama Pertamina sejak awal telah menyusun peta eksplorasi berdasarkan Peta Blok WK Migas Kepala Burung Pulau Papua, yang mencakup Kabupaten Sorong dan Manokwari. Dari kegiatan eksplorasi tersebut, ditemukan cadangan gas alam hingga 10,3 triliun kaki kubik, yang berada di wilayah darat dan laut Inanwatan, Metemani, Kais, dan Kokoda (IMEKO) â wilayah yang secara hukum merupakan tanah adat Suku Berau di Sorong Selatan.
Namun, sejak awal 2000-an, situasi mulai berubah. Setelah merger antara ARCO Indonesia Inc (ARII) dan British Petroleum (BP), masyarakat menduga BP mulai menggunakan data cadangan gas dari Lapangan Berau sebagai jaminan pinjaman ke Bank Dunia, lalu membangun kilang LNG di Teluk Bintuni tanpa pelibatan masyarakat adat.
âKami sangat menyesalkan keputusan strategis yang diambil justru menyelamatkan kepentingan perusahaan, bukan hak-hak masyarakat adat,â ujar Saimar, Senin (7/7/2025).
Lebih lanjut, ia membeberkan bahwa perubahan peta blok migas secara sepihak oleh BP Migas (kini SKK Migas) dalam dokumen AMDAL tahun 2003, mengakibatkan titik eksplorasi seolah berpindah dari Sorong Selatan ke Bintuni. Padahal, pengeboran awal dilakukan di wilayah daratan Sorong Selatan.
âWilayah kami dirusak, dan setelah itu kami dihapus dari peta. Ini pencurian sumber daya yang berlangsung sistematis,â tegasnya.
Saimar juga mengungkapkan bahwa Lapangan Weriagar, yang berada dalam satu paket dengan Lapangan Berau, hingga kini tidak pernah diakui sebagai wilayah adat yang sah. Padahal, dalam UU Migas, satu perusahaan hanya diperbolehkan mengelola satu blok migas.
Atas dugaan pelanggaran hukum dan perampasan hak selama lebih dari dua dekade, masyarakat adat IMEKO menuntut kompensasi sebesar Rp618 miliar, berdasarkan estimasi kerugian dari potensi gas yang diambil dari wilayah adat mereka.
Kuasa hukum masyarakat adat, Arfan Poretoka, menyatakan bahwa perjuangan ini bukan sekadar soal ganti rugi, tetapi juga pengakuan atas status Sorong Selatan sebagai daerah penghasil migas yang sah.
âKami meminta Gubernur Papua Barat Daya segera menurunkan tim ahli untuk memverifikasi ulang potensi gas yang ada di wilayah Sorong Selatan,â ujar Arfan.
Ia menegaskan, cadangan gas di wilayah tersebut jauh lebih besar dibanding daerah lain yang hanya memiliki 1 triliun kaki kubik. Karena itu, Sorong Selatan layak diakui sebagai lumbung energi nasional dan berhak atas Dana Bagi Hasil (DBH) yang adil untuk pembangunan.
âJangan sampai infrastruktur dibangun di Bintuni, tapi gasnya diambil dari tanah kami. Ini bentuk pencurian berkedok investasi. Jika perlu, kami siap tempuh jalur hukum,â tegasnya.
Dalam waktu dekat, masyarakat adat berencana menggelar audiensi resmi dengan Gubernur Papua Barat Daya, untuk menyerahkan data eksplorasi dan dokumen pendukung. Mereka juga mendesak pemerintah daerah berpihak pada rakyat, bukan tunduk pada tekanan korporasi.
âKami dulu diam, tapi sekarang saatnya kami bersuara. Jangan biarkan anak cucu kami hanya mewarisi tanah rusak tanpa hasil. Pemerintah harus berpihak pada rakyat, bukan pada modal,â pungkas Saimar. (Red)




