Scroll Untuk Lanjut Membaca

Noken merupakan kerajinan tradisional masyarakat Papua berwujud serupa tas bertali yang cara membawanya dikalungkan dileher atau digantungkan pada kepala bagian dahi yang diarahkan ke punggung. Seperti tas pada umumnya, noken digunakan untuk membawa barang kebutuhan sehari-hari. Namun, noken tetaplah noken, bukan tas atau kantong, dan sebaliknya tas bukanlah noken. Jadi, noken merupakan kategori produk kerajinan yang khas. Dewasa ini noken menjadi ikon budaya dan identitas masyarakat Papua. Kerajinan ini tersebar dibeberapa daerah seperti di Jayapura, Paniai, Wamena, Merauke, Sorong, Biak, Manokwari, dan Nabire.

Noken memiliki simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan bagi masyarakat Papua terutama di daerah Pegunungan dan beberapa suku yang lain di Papua. Semula noken dibuat oleh masyarakat Papua sebagai wadah atau tempat barang kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Papua umumnya menggunakan noken untuk membawa hasil pertanian, seperti sayuran, umbi-umbian, dan membawa barang dagangan ke pasar. Namun, sejatinya noken memiliki arti dan fungsi yang lebih luas dan mendalam, seperti arti sosial, ekonomi dan budaya.

Noken terbuat dari serat pohon, kulit kayu, rumput rawa, rotan, dan daun pandan yang tumbuh liar di daerah pegunungan, pedalaman, pesisir dan pulau-pulau. Beberapa jenis pohon yang digunakan sebagai bahan baku noken antara lain manduan, nawa dan puma yang biasanya tumbuh di wilayah dataran dan pegunungan. Rotan tumbuh subur di hutan-hutan, sementara rumput dan pandan tumbuh di rawa-rawa. Dengan demikian, alam Papua menyediakan bahan dasar pembuatan noken secara melimpah. Seiring dengan berkembangnya teknologi pembuatan noken saat ini sudah banyak menggunakan benang rajut katun/nilon. Dengan penggunaan bahan modern ini noken semakin digemari oleh masyarakat umum karena teknik merajutnya lebih bervariasi dengan corak yang menarik, namun tetap tidak menghilangkan ciri khas unik tradisi masyarakat Papua.

Selain noken, kearifan lokal lain yang sampai sekarang masih terus dilestarikan secara turun temurun adalah mahkota kepala. Mahkota kepala merupakan salah satu bagian dari pakaian adat yang awalnya digunakan oleh masyarakat suku Asmat. Hiasan atau mahkota khas suku Asmat ini memang tidak memiliki nama khusus. Bentuk mahkota ini sebenarnya menyerupai sebuah anyaman pucuk daun sagu yang dapat diikatkan ke kepala. Beberapa bulu burung dipasang disekitar anyaman dan menjadi aksesoris yang memperindah mahkota. Bulu-bulu ini diambil dari burung-burung yang mempunyai arti penting bagi suku Asmat seperti Kasuari, Kakatua putih, dan Cenderawasih.

Halaman:
1 2 3